Setiap Muslim tentu ingin bertemu dengan malam Lailatul Qodar. Menurut Sunah Rasul, “perburuan” malam itu bisa dilakukan mulai malam ke-21 hingga ke-29 Ramadhan. Metode perburuan yang dicontohkan Rasul adalah denga i’tikaf di masjid pada 10 hari terakhir Ramadhan.
Definisi & Syarat I'tikaf
I'tikaf yaitu berdiam atau tinggal di masjid dengan adab-adab tertentu, pada masa tertentu, dengan niat ibadah dan taqorrub kepada Allah SWT. Hukumnya sunat. Rasulullah senantiasa beri'tikaf pada bulan Ramadhan selama 10 hari (HR. Bukhori & Muslim).
Orang yang i'tikaf harus memenuhi kriteria-kriteria Muslim, berakal, serta suci dari janabah (junub), haidh, dan nifas. Selain itu, i’tikaf harus diniatkan sejak awal. Oleh karena itu, i'tikaf tidak diperbolehkan bagi orang kafir, anak yang belum mumaiyiz, orang junub, serta wanita haidh dan nifas.
I'tikaf dimulai sebelum terbenam matahari malam ke-21 dan berakhir pada hari terakhir bulan Ramadhan. Sebagian ulama mengatakan, lebih mustahab (disenangi) adalah menunggu sampai Shalat Id.
Adab I’tikaf
Memperbanyak ibadah dan taqorrub kepada Allah SWT, seperti shalat, membaca Al-Quran, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar, shalawat, do'a, dan sebagainya. Termasuk pengajian, ceramah, ta'lim, diskusi ilmiah, tela'ah buku tafsir, hadits, dan sebagainya. Namun demikian yang menjadi prioritas utama adalah ibadah-ibadah mahdhah.
Selama i’tikaf boleh keluar untuk mengantar istri; menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan; keluar untuk buang air besar dan kecil, juga makan dan minum (jika tidak ada yang mengantarkan), tapi harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluanya.
Boleh makan, minum, dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid.
I’tikaf batal jika meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar. Demikian pula jika haidh, nifas, dan berjima’.
I'tikaf bagi Wanita
Sebagaimana kaum pria, wanita (Muslimah) pun disunahkan beri'tikaf dengan syarat dan rukun tertentu. I'tikaf bagi kaum wanita harus memenuhi syarat utama:
Pertama, mendapat izin dan ridlo suami atau orangtua.
Kedua, tempat i'tikaf wanita yang lebih utama ialah tempat shalat di rumahnya. Jika di masjid, harus terpisah dan tertutup dari dari tempat lelaki.
Ketiga, selama i'tikaf, wanita diharuskan suci dari hadast besar (untuk wanita harus dalam kondisi bersih dari haid dan nifas).
Keempat, bagi wanita yang sedang haid, ibadah yang seharusnya dilaksanakan adalah berzikir dengan memperbanyak membaca tasbih, tahmid, istigfar dan tahlil.
Ulama berbeda pendapat mengenai apakah boleh seorang wanita haid membaca Al-Qur'an. Sebagian besar ulama mengatakan, tidak boleh karena hadist yang diriwayatkan Ibnu Umar, Rasulullah Saw bersabda: "Janganlah membaca al-Qur'an, seorang yang berhadast besar (junub) dan wanita haid" (HR. Tirmizi dan Baihaqi).
Namun hadits tersebut meskipun dipedebatkan kesahihannya oleh para ulama.
Ada juga riwayat Ali yang mengatkan "Suatu hari aku melihat Rasulullah berwudlu lalu membaca Al-Quran, lalu beliau berkata "Beginilah caranya bagi mereka yang bukan junub (berhadats besar), adapun mereka yang junub tidak boleh membaca Al-Qur'an meskipun satu ayat" (HR. Ahmad).
Dawud Al-Dhahiri mengatakan, orang junub boleh membaca Al-Qur'an. Pendapat ini juga berdasarkan adanya surat Nabi Saw yang dikirimkan kepada Heraklus yang di dalamnya tercantum ayat-ayat al-Qur'an. Jika membaca Al-Qur'an bagi orang junub dilarang, tentu Nabi Saw tidak megirimkan surat yang berisi ayat-ayat Al-Qur'an, karena Heraklus adalah orang Nasrani yang tentu tidak besih dari hadas besar.
Riwayat dari imam Syafi'e dan Imam Malik memperbolehkan seorang haid membaca Al-Qur'an bila takut lupa, atau memang pekerjaannya mengajarkan Al-Qur'an, atau mungkin seorang wanita yang sedang berargumentasi sehingga harus mengguakan Al-Qur'an sebagai dalil.
Demikian juga memperbolehkan membaca ayat-ayat pendek yang tujuannya untuk zikir, seperti membaca basmalah ketika hendak makan dan minum, dan membaca hamdalah ketika selesai dan lain-lain. Wallahu a'lam.*