Panduan Puasa Wajib (Ramadhan) & Puasa Sunnah
1. Puasa Ramadhan
RUKUN PUASA
- Niat puasa sejak malam hari –sebelum masuk waktu fajar/subuh.
- Menahan makan, minum, jima’ dengan isteri pada siang hari sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.
“Dan
makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar, lalu sempurnakanlah puasa itu sampai malam” (QS. Al-Baqarah:187).
“Barangsiapa yang tidak beniat (puasa Ramadhan) sejak malam, maka tidak ada puasa baginya” (HR. Abu Dawud).
YANG WAJIB PUASA
- Orang beriman (Muslim/Muslimah)
- Aqil Baligh/mukallaf/dewasa.
- Sehat/waras/sadar /tidak gila.
Orang
yang diwajibkan puasa Ramadhan adalah setiap orang beriman (lelaki dan
wanita) yang sudah baligh/dewasa dan sehat akal/sadar.
“Telah
diangkat pena (kewajiban syar’i/taklif) dari tiga golongan: dari orang
gila sehingga dia sembuh, dari orang tidur sehingga bangun, dan dari
anak-anak sampai ia bermimpi/dewasa” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi).
YANG DILARANG PUASA
Yang
dilarang puasa adalah wanita yang sedang haidh sampai habis masa
haidhnya, lalu melanjutkan puasanya. Di luar Ramadhan ia wajib mengqadha
puasa yag ditinggalkannya selama dalam haidh.
“Diriwayatkan
dari ‘Aisyah ra. ia berkata, saat kami haidh pada masa Rasulullah Saw,
kami dilarang puasa dan diperintahkan mengqadhanya, dan kami tidak
diperintah mengqadha shalat” (HR Bukhari-Muslim).
YANG DIBERI KELONGGARAN UNTUK TIDAK PUASA
Orang beriman yang dibolehkan untuk tidak puasa Ramadhan, tetapi wajib mengqadha pada bulan lain, ialah:
- Orang sakit yang masih ada harapan sembuh.
- Orang
yang bepergian (musafir). Musafir yang merasa kuat boleh meneruskan
puasa dalam safarnya, tetapi yang merasa lemah dan berat lebih baik
berbuka, dan makruh memaksakan diri untuk puasa.
- Orang mukmin yang diberi kelonggaran diperbolehkan untuk tidak mengerjakan puasa dan tidak wajib mengqadha, tetapi wajib fidyah (memberi makan sehari seorang miskin). Mereka adalah orang yang tidak lagi mampu mengerjakan puasa karena:
- Umurnya sangat tua dan lemah.
- Wanita yang menyusui dan khawatir akan kesehatan anaknya.
- Karena hamil dan khawatir akan kesehatan dirinya.
- Sakit menahun yang tidak ada harapan sembuh.
- Orang
yang sehari-hari kerjanya berat yang tidak mungkin mampu dikerjakan
sambil puasa, dan tidak mendapat pekerjaan lain yang ringan.
“Siapa
saja yang sakit atau dalam musafir (bolehlah ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain…” (Al-Baqarah:185.)
“Maka
ditetapkanlah kewajiban puasa bagi setiap orang yang mukim dan sehat dan
diberi rukhsah (keringanan) untuk orang yang sakit dan bermusafir dan
ditetapkan cukup memberi makan orang miskin bagi orang yang sudah sangat
tua dan tidak mampu puasa” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Al-Baihaqi).
“Wanita
yang hamil dan wanita yang menyusui apabila khawatir atas kesehatan
anak-anak mereka, maka boleh tidak puasa dan cukup membayar fidyah
memberi makan orang miskin “ (HR. Abu Dawud).
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA
- Sengaja makan dan minum pada siang hari. Bila terlupa makan dan minum pada siang hari, maka tidak membatalkan puasa.
- Sengaja membikin muntah, bila muntah dengan tidak disengajakan, maka tidak membatalkan puasa.
- Pada siang hari terdetik niat untuk berbuka.
- Dengan
sengaja menyetubuhi istri pada siang hari Ramadhan, ini di samping
puasanya batal ia terkena sanksi berupa memerdekakan seorang hamba, bila
tidak mampu maka puasa dua bulan berturut-turut, dan bila tidak mampu,
maka memberi makan enam puluh orang miskin.
- Datang bulan pada siang hari Ramadhan (sebelum waktu masuk Maghrib).
“Barangsiapa
yang terlupa, sedang dia dalam keadaan puasa, kemudian ia makan atau
minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya. Hal itu karena
sesungguhnya Allah hendak memberinya karunia makan dan minum” (Hadits Shahih).
“Barangsiapa
yang muntah dengan tidak sengaja, padahal ia sedang puasa, maka tidak
wajib qadha (puasanya tetap sah), sedang barangsiapa yang berusaha
sehinggga muntah dengan sengaja, maka hendaklah ia mengqadha (puasanya
batal)” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
HAL-HAL YANG BOLEH DIKERJAKAN WAKTU PUASA
- Menyiram air ke atas kepala pada siang hari karena haus ataupun udara panas, demikian pula menyelam kedalam air pada siang hari.
- Menta’khirkan mandi junub setelah adzan Shubuh.
- Berbekam pada siang hari.
- Mencium, menggauli, mencumbu istri tetapi tidak sampai bersetubuh di siang hari.
- Beristinsyak (menghirup air kedalam hidung) terutama bila akan berwudhu, asal tidak dikuatkan menghirupnya.
- Disuntik pada siang hari.
- Mencicipi makanan asal tidak ditelan.
ADAB-ADAB PUASA
- Menyegerakan berbuka.
- Meneguk air dan berbuka dengan makanan kecil yang manis –Rosulullah biasa berbuka dengan kurma.
- Makan sebelum sholat magrib. “Apabila
makan malam telah disediakan, maka mulailah makan sebelum shalat
Maghrib, janganlah mendahulukan shalat daripada makan malam itu (yang
sudah terhidang)” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
- Makan sahur. “Makan sahurlah kalian karena sesungguhnya makan sahur itu berkah” (HR. Al-Bukhary).
- Shalat malam (tarawih). “Rasulullah
saw tidak pernah shalat malam lebih dari sebelas raka’at baik bulan
Ramadhan maupun bulan lainnya, caranya: beliau shalat empat raka’at,
jangan tanya baik dan panjangnya, lalu shalat lagi empat raka’at, jangan
ditanya baik dan panjangnya, lalu shalat tiga raka’at (HR. Al-Bukhary, Muslim, dan lainnya).
- Berusahalah untuk mencari Lailatul Qadar pada sepuluh malam terakhir (HR. Muslim).
- Rasulullah Saw mengamalkan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
- “Janganlah
berbuat keji, jangan berteriak-teriak (bertengkar, marah-marah). Jika
seorang memakinya sedang ia puasa maka hendaklah ia katakan:
“Sesungguhnya saya sedang puasa” (HR Bukhori dan Muslim).
- “Sungguh bau mulut orang yang sedang puasa itu lebih wangi di sisi Allah pada hari kiamat daripada kasturi” (HR Bukhori dan Muslim).
- ”Bagi
orang yang puasa ada dua kegembiraan, jika ia berbuka ia gembira dengan
bukanya dan bila ia berjumpa dengan Rabbnya ia gembira karena puasanya” (HR. Bukhari dan Muslim).
- “Barangsiapa
yang tidak meninggalkan perkataan bohong dan amalan kebohongan, maka
tidak ada bagi Allah hajat (untuk menerima) dalam hal ia meninggalkan
makan dan minumnya” (HR. Jama’ah kecuali Muslim). Maksudnya, Allah tidak merasa perlu memberi pahala puasanya.
- “Umrah di bulan Ramadhan sama dengan mengerjakan haji atau haji bersamaku” (HR. Muslim). Wallahu a’lam bish-shawab.
TUJUAN PUASA: TAKWA
Tujuan
puasa adalah menjalankan kewajiban sebagai Muslim (Rukun Islam Keempat)
dan mencapai derajat takwa (QS. 2:183). Takwa secara umum adalah
“melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya”.
Pengertian Takwa
Berikut ini pendapat sejumlah ulama tentang takwa:
- Ibnu Katsir: “Melakukan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya”.
- Imam
Al-Ghazali: “Takut, taat, menyucikan hati dari dosa, serta menjauhkan
setiap apa yang ditakuti akan membawa mudharat kepada agama”.
- Imam
ar-Raghib al-Ashfahani: “Menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya
berdosa dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, menjadi sempurna
dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan.”
- Imam an-Nawawi: “Menaati perintah dan larangan-Nya”.
- Imam al-Jurjani: “Menjaga diri dari pekerjaan yang mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan atau meninggalkannya.”
Takwa
juga sering diartikan ‘takut’, yakni takut akan amarah dan siksa Allah,
takut tidak bisa menjadi hamba Allah yang bersyukur, takut tidak
menjadi mukmin atau muslim sejati, atau takut masuk neraka.
Takwa
juga dimaknai sebagai sikap hati-hati, untuk tidak melanggar larangan
Allah. Seorang sahabat Nabi perawi hadits, Abu Hurairah, memakai
ilustrasi yang cukup menarik.
Saat ditanya soal takwa, Abu
Hurairah balik menanyakan, “Apakah engkau pernah melewati jalanan
berduri?” Si penanya menjawab, “Ya”. Abu Hurairah bertanya lagi, “Lalu,
apa yang engkau lakukan?” Orang itu menjawab, “Jika aku melihat duri
maka aku menyingkir darinya, atau aku melompatinya, atau aku tahan
langkah”. Kata Abu Hurairah, “Seperti itulah takwa!”.
Wallahu a’lam.*
Sumber:
Al-Qur’anul Kariem, Bulughul Maram Ibnu Hajar Al-Ashqolani, Shahih
Bukhori dan Shahih Muslim, Tafsir Ibnu Katsier, Fiqh Sunnah Sayyid
Sabiq, dll.
DOWNLOAD PANDUAN PUASA RAMADHAN
PANDUAN PUASA SUNAH
Puasa
Sunnah yaitu puasa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW selain
puasa wajib (shaum Ramadhan), misalnya puasa enam hari Syawal, puasa
Arafah, puasa Tasu'a dan Asyura, puasa ayyamul bidh, puasa Senin Kamis,
puasa Daud, dan sebagainya.
Jenis-Jenis Puasa Sunat
1. Puasa Senin & Kamis
“
Berbagai
amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka
jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi).
“
Rasulullah Saw biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.” (HR. An Nasai dan Ibnu Majah)
2. Puasa Tiga Hari Setiap Bulan Hijriyah
Dianjurkan berpuasa tiga hari setiap bulannya, pada hari apa saja.
“
Kekasihku
(yaitu Rasulullah Saw) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak
meninggalkannya hingga aku mati: [1] berpuasa tiga hari setiap bulannya,
[2] mengerjakan shalat Dhuha, [3] mengerjakan shalat witir sebelum
tidur.”( HR. Bukhari)
Mu’adzah bertanya kepada ‘Aisyah, “
Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “
Iya.” Mu’adzah lalu bertanya, “
Pada hari apa beliau melakukan puasa tersebut?” ‘Aisyah menjawab, “
Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya semau beliau).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Namun, hari yang utama untuk berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal dengan
Ayyamul Biid. Dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “
Rasulullah Saw biasa berpuasa pada Ayyamul Biidh ketika tidak bepergian ataupun ketika bersafar.” (HR. An-Nasai).
Dari Abu Dzar, Rasulullah Saw bersabda padanya, “
Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi dan An Nasai).
3. Puasa Daud
Cara melakukan puasa Daud adalah sehari berpuasa dan sehari tidak. Rasulullah Saw bersabda, “
Puasa
yang paling disukai oleh Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat yang
paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur separuh
malam, dan bangun pada sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya.
Beliau biasa berbuka sehari dan berpuasa sehari.” (HR. Bukhari dan Muslim).
4. Puasa di Bulan Sya’ban
“
Nabi
Saw tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan
Sya’ban. Nabi Saw biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
“
Nabi Saw biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim).
Yang
dimaksud di sini adalah berpuasa di hampir semua hari, bukan seluruh
harinya (sebulan penuh) agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah
wajib.
5. Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
“
Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim)
6. Puasa di Awal Dzulhijah
"
Tidak
ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal
sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan
Dzul Hijjah)." Para sahabat bertanya: "Tidak pula jihad di jalan Allah?"
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Tidak pula jihad di jalan
Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya
namun tidak ada yang kembali satupun." (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Keutamaan
sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak
terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat,
sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya. Di antara amalan
yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa.
“Rasulullah
Saw biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari
‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya...” (HR. Abu
Daud).
7. Puasa ‘Arofah
Puasa ‘Arofah ini dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata, “
Nabi
Saw ditanya mengenai keutamaan puasa ‘Arofah. Beliau menjawab, ”Puasa
‘Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan
datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau
menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim).
Untuk orang yang berhaji, tidak dianjurkan melaksanakan puasa ‘Arofah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “
Nabi Saw tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun meminumnya.” (HR. Tirmidzi).
8. Puasa ‘Asyura
“
Puasa
yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan
Allah - Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat
wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim).
Puasa ‘Asyura
dilaksanakan tanggal 10 Muharram. Ibnu Abbas r.a. berkata, ketika Nabi
Saw melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk
melakukannya, pada saat itu ada yang berkata, “
Wahai Rasulullah,
hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas
beliau mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah
menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas
mengatakan, “Belum sampai tahun depan, Nabi Saw sudah keburu meninggal
dunia.” (HR. Muslim).
Puasa yang Diharamkan
Puasa
pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha dan puasa pada hari tasyrik.
Termasuk dalam kategori ini adalah puasa-puasa bid'ah, karena ibadah itu
berdasarkan tasyri' (penetapan syariat dari Allah).
Sedangkan jika
ibadah dibuat-buat sendiri, termasuk puasa, maka ia tergolong bid'ah.
Misalnya, puasa Maulid (12 Rabiul Awal), puasa Isra' Mi'raj (27 Rajab),
dan puasa nisyfu Sya'ban.
Namun jika puasa bertepatan dengan 12 Rabiul
Awal, 27 Rajab dan Nisyfu Sya'ban itu adalah puasa sunnah yang biasa
dikerjakan (misal puasa Daud atau Senin Kamis) dan tidak berniat puasa
bid'ah tersebut (Maulid, Isra' Mi'raj dan Nisyfu Sya'ban) maka tidak
mengapa (tetap terhitung sebagai puasa sunnah).
Ada lagi puasa
yang haram karena merampas hak orang lain. Contohnya puasa sunnah istri
yang merampas hak suami, atau puasa sunnahnya guru yang menyebabkan ia
mengabaikan kewajibannya mengajar pada murid/santri.
Puasa Makruh
Misalnya adalah puasa dahr, yaitu puasa terus menerus setiap hari.
Contoh lain puasa yang makruh adalah mengkhususkan bulan Rajab untuk
berpuasa, mengkhususkan hari Jum'at untuk berpuasa, serta mengkhususkan
hari Sabtu untuk berpuasa.
Sumber: Fiqih Puasa, Syaikh Yusuf Qardhawi.